SEJARAH MASA ORDE BARU
Orde
Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno.
Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan
yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966
hingga 1998. Dalam
jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal
ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik
Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik
kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden
Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu
kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19
September 1966 mengumumkan
bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun
setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap
awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap
orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal
dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer
Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi
nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan
lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi
secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer,
khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang
adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga
melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto
siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep
akselerasi pembangunan II yang diusung Ali
Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan,
bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di
pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir
serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi
sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,
jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Penataan Kehidupan Politik
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 merupakan dasar legalitas dimulainya
pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan seluruh
kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kemurnian pelaksanaan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga dapat dikatakan bahwa Orde
Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan berusaha
untuk menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional
guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Melalui Ketetapan MPRS No.
XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugaskan oleh MPRS untuk membentuk Kabinet
Ampera. Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan Keputrusan
Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet
baru tersebut Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai
pimpinan kabinet. Tetapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober
1966, jabatan Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto diangkat
sebagai perdanamenteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera
yang disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan
kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto semakin besar sejak awal tahun 1967.
Pada 10 Januari 1967Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato
pertanggungjawaban presiden yang disebut PelNawaksara, tidak diterima oleh MPRS
berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari
diumumkan tentang penyerahan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga tertinggi Negara ini mengeluarkan
Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi
mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarnodan
mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan
dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telah menyebabkan terjadinya
instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan pada tanggal 27 Maret 1968
Soeharto diangkat sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan
MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden baru hasil pemilu
ditetapkan.Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet pertama pada masa peralihan
kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya Dwi Darma Kabinat Ampera
yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitasekonomi sebagai persyaratan
untuk melaksanakan pembangunan nasional.Program Kabinet Ampera terkenal dengan
nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni
- Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan
- Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968
- Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional
- Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya
- Setelah MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden RI untuk masa jabatan lima tahun, maka dibentuklah
Kabinet Pembangunan dengan tugasnya
yang disebut Panca Krida yang meliputi:
- Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi
- Menyusun dan melaksanakan Pemilihan Umum
- Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
- Membersihkan aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.
Pembubaran PKI dan Organisasi massanya
Dalam rangka menjamin keamanan,
ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban
Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:
- Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
- Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
- Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.
Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum
yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhaan
dan penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan social
politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada
kesamaan ideology, tetapi lebih atas persamaan program. Tigakekuatan social
politik itu adalah:
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
- Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
- Golongan Karya
Penyederhanaan partai-partai politik
ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan stabilitas kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya
telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama,
karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsiserta
pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah
berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971,
1977,
1985,
1987,
1992,
dan 1997.
Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru,
Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu.Pada Pemilu
1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP memperoleh
5,43 %dengan peroleh 27 kursi.Dan PDI mengalami kemorosotan perolehan
suara hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh
partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI
Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP .Penyelenggaraan Pemilu yang teratur
selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di
Indonesia telah berjalan dengan baik.Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas
LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalamkenyataannya Pemilu
diarahkan untuk kemenangan salah satu kontrestan Pemilu yaituGolkar.Kemenangan
Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997
menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi
oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden
Repupublik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden
dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan
Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan
MPR dan DPR tanpa catatan.
Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Untuk menciptakan stabilitas politik,
pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan
sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI.
Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI
adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam
pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan
cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.Pertimbangan pengangkatan anggota
MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan
dinamisator.Peran dinamisator sebanarnya telah diperankan ABRI sejak zaman
Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan
meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan Belanda.
Demikian juga halnya yang dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari
perpecahan setelah G 30 S PKI, yangmelahirkankan Orde Baru. Boleh dikatakan
peran dinamisator telah menempatkan ABRI pada posisiyang terhormat dalam
percaturan politik bangsa selama ini.
Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).Untuk
mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka sejak
tahun 1978
pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan
masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya
pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui
penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap
pemerintah Orde Baru.] Dan sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila
sebagai asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain
Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan
pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian
Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian
dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua
prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi
Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila,
dan sebagainya. Dan Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang
tidak boleh diperdebatkan.
Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. Dan MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan
yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar
negeri Indonesia harus didasarkan kepada kepentingannasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.
Kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 Desember 1966 Indonesia kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB
dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia
selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.Kembalinya Indonesia menjadi
anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB
sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk
masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkanhubungan dengan sejumlah
negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat
renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[rujukan?] Pada tanggal 2 Juni
1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura
kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew.[rujukan?] Dan
pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan
hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan
Hubungan dengan MalaysiaNormalisasi
hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di
Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:
- Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah merekaambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
- Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
- Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966
penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani
di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
Pembekuan Hubungan dengan RRC
Pada tanggal 1 Oktober 1967
Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Keputusan tersebut dilakukan
karena RRC telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara
memberikan bantuan kepada G 30 S PKI baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun
sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.Selain itu pemerintah
Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina
terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar Republik Indonesia
di Peking. Pemerintah RRC juga telah memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh
G 30 S PKI di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya
kembali PKI.
Melalui media massanya RRC telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Dan
pada 30 Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar
di Peking.
Penataan Kehidupan Ekonomi
Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan
pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:
- Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
- MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah diarahkan pada upaya
penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar
harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah
perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini
adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya
demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada
Ketetapan MPRS tersebut adalah:
- Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
- Rendahnya penerimaan negara.
- Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
- Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
- Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
- Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
- Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian
- Berorientasi pada kepentingan produsen kecil
Untuk melaksanakan langkah-langkah
penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru menempuh cara-cara :
- Mengadakan operasi pajak
- Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
- Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
- Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung
laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968,
tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet
Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya
pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang,
pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi
nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta
asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan pemerintah.
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan
kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde
Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan
ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan
disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok
kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga (negara) tidak dapat melaksanakan
fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.
Kerjasama Luar Negeri
- Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang
sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang
sangat besar yakni mencapai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru
meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang
Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan
perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.Pemerintah Indonesia akan melakukan
usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk
membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku.
Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun
dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai
berikut
- Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
- Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
- Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
- Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
- Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967
diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan kebutuhan
Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan
syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for
Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi
kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.Di samping mengusahakan bantuan
luar negeri tersebut, pemerintah juga berusaha dan telah berhasil mengadakan
penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling)
hutang-hutang peninggalan Orde Lama.Melalui pertemuan tersebut pemerintah
Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional
Setelah berhasil memulihkan kondisi
politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah
Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang
diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka
pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu:
- Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
- Meningkatkan kesejahteraan umum
- Mencerdaskan kehidupan bangsa
- Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang
dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan
Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan
bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Isi Trilogi Pembangunan adalah :
- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
- Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
- Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang
dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:
- Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
- Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
- Pemerataan pembagian pendapatan.
- Pemerataan kesempatan kerja
- Pemerataan kesempatan berusaha
- Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
- Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
- Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
- Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah disebutkan di muka bahwa
Pembangunan nasional direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui
program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah
telah melaksanakan enam Pelita yaitu:
·
- Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal pembangunan
masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya
adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan
bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi
melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk
Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
·
- Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal
1 April 1974
sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah
tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan
rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup
berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir
Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II
inflasi turun menjadi 9,5%.
·
- Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1
April 1979
sampai 31 Maret 1984.Pelaksanaan Pelita III masih
berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
·
- Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984
sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah
sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung
pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
·
- Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989
sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi
Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8%
per tahun.Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang
menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
·
- Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994
sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI
ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan
pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan.Namun pada periode ini
terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa
politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses
pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun
1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek,
dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin.Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa
Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam
bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam
hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa
warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.Padahal, kenyataan
berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu
bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat
mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan
politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena
khawatir akan keselamatan dirinya.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio
dan televisi mendengungkan slogan "persatuan
dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah
adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya
seperti Jawa,
Bali
dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.Namun dampak negatif yang tidak
diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai
daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi
terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua
yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para
transmigran.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
- Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
- Sukses transmigrasi
- Sukses KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Sukses swasembada pangan
- Pengangguran minimum
- Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan Wajib Belajar
- Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
- Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde
Baru
- Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
- Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
- Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
- Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
- Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
- Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
- Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
- Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
- Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
- Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
Krisis finansial Asia
Pada pertengahan 1997, Indonesia
diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial
Asia),
disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan
harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.Rupiah
jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para
demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri
Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya
untuk masa bakti ketujuh.Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga
Indonesia.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada
tahun 1998
dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan
"Era Reformasi".Masih adanya tokoh-tokoh penting
pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering
membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh
karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era
Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan
lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era
Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru
yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
Comments
Post a Comment
^_^ Komentarnya Ya ^_^